Selasa, 01 Desember 2009

'Emak Ingin Naik Haji'

Jakarta - Setelah menonton 'Emak Ingin Naik Haji', hal yang paling pertama ingin saya lakukan adalah menyenangkan hati orang tua. Betapa tidak, sepanjang film ini yang disuguhkan berupa contoh-contoh teladan bagaimana seorang anak harus bersikap kepada orangtuanya.

Film ini berhasil membuat saya mempunyai perasaan tersebut karena kelihaian sutradara Aditya Gumay (terkenal dengan 'Lenong Bocah'). Dari dulu saya yakin kalau di Indonesia, sutradara teater lebih baik dalam menyutradarai film.

sutradara teater lebih menguasai cerita, penokohan, akting para aktor dan penguatan karakter. Film hanyalah alat bantu visinya bukan tujuannya. 'Emak Ingin Naik Haji' juga berhasil karena isi dan tema cerita yang jarang sekali di garap oleh produser dan sutradara Indoneisia yaitu soal orang yang bersahaja.

Di adaptasi dari cerpen yang berjudul sama oleh Asma Nadia, seorang sastrawan yang banyak menghasilkan karya melalui novel dan cerpennya sebagai pembangun jiwa. Banyak teman-teman saya bilang bahwa film ini memakai gaya film Iran yang tidak mengumbar kehebohan.

'Emak Ingin Naik Haji' berkisah tentang ibu miskin (Ati Kanser) yang ingin naik haji. Ia hidup bersama anaknya yang duda, Zein (Reza Rhardian). Mereka mempunyai tetangga yang baik dimana hampir tiap tahun naik haji.

Cerita menguat ketika Zein merasa berkewajiban untuk membantu emaknya untuk naik haji, padahal ia hanyalah seorang penjual lukisan pinggir jalan. Konflik bertebaran dengan rapih, mulai dari sisi kontras dengan t
etangganya maupun dengan pejabat yang naik haji hanya mengejar titel 'haji' semata.

Walaupun film ini memuaskan 'jiwa' saya, masih ada sisi yang mengganjal untuk dikritisi, yaitu lokasi geografis setting cerita ternyata dekat dengan pantai kampung nelayan, beberapa kali adegan pinggir pantai muncul di film. Namun sayang, elemen itu terasa lepas dengan ceritanya, sehingga terlihat hanya seperti tempelan semata. Sekali lagi salut untuk idealisme 'Emak Ingin Naik Haji'.

0 komentar: